Tugas Mandiri 6

 

🍫 Observasi Produk dan Analisis Input–Output Berdasarkan ISO 14040

Produk yang Diamati: Snack Beng-Beng (Wafer Berlapis Karamel dan Cokelat)
Topik: Analisis Siklus Hidup Produk Konsumsi


Pendahuluan

Kita sering menikmati camilan ringan seperti Beng-Beng tanpa berpikir panjang tentang bagaimana produk itu dibuat, dari mana bahan-bahannya berasal, dan ke mana akhirnya sampah kemasannya akan berakhir. Namun, di balik sebatang kecil wafer berlapis karamel dan cokelat ini, terdapat rantai proses industri yang panjang, kompleks, dan menyimpan dampak lingkungan yang tidak kecil.

Melalui tugas observasi ini, saya mencoba menerapkan prinsip Life Cycle Assessment (LCA) berdasarkan standar ISO 14040 untuk memahami bagaimana sebuah produk konsumsi sederhana memiliki siklus hidup yang penuh dengan aktivitas produksi, konsumsi energi, hingga pembentukan limbah. ISO 14040 sendiri menekankan empat tahapan penting dalam penilaian daur hidup produk, yaitu: penetapan tujuan dan ruang lingkup, analisis inventori, penilaian dampak, serta interpretasi hasil.

Pendekatan ini membantu saya memetakan bagaimana Beng-Beng sebagai produk populer tidak hanya berdampak pada kepuasan konsumen, tetapi juga pada sistem ekologis secara keseluruhan.


Identifikasi Produk

Produk yang saya pilih adalah Snack Beng-Beng, yaitu wafer yang dilapisi karamel dan cokelat, diproduksi oleh PT Mayora Indah Tbk. Produk ini termasuk dalam kategori makanan ringan siap konsumsi (ready-to-eat snack). Fungsinya adalah sebagai camilan cepat yang memberikan energi instan dan kepuasan rasa manis.

Masa pakainya relatif singkat — kurang dari satu tahun, dengan daya tahan produk sekitar 6–9 bulan jika disimpan dalam kemasan tertutup. Namun, setelah kemasan dibuka, produk ini langsung dikonsumsi dan habis dalam waktu singkat, biasanya hanya dalam 1–2 jam. Yang tersisa hanyalah pembungkus plastik berlapis aluminium yang sulit terurai.


Tahapan Siklus Hidup Produk

1. Produksi Bahan Baku

Siklus hidup Beng-Beng dimulai dari tahap pengadaan bahan baku. Beberapa komponen utama yang digunakan antara lain gula, kakao, susu bubuk, gandum, minyak nabati, dan air. Bahan-bahan ini diperoleh dari sektor pertanian dan perkebunan yang berbeda-beda, sebagian besar berasal dari dalam negeri dan sebagian dari impor.

Tahap ini membutuhkan energi untuk kegiatan pertanian, pengolahan bahan mentah, serta transportasi bahan ke pabrik. Setiap proses ini menghasilkan emisi CO₂, limbah cair dari pemrosesan gula dan susu, serta penggunaan air dalam jumlah besar untuk produksi.

Dampak lingkungan di tahap ini cukup signifikan karena terkait langsung dengan praktik pertanian intensif yang menghasilkan emisi gas rumah kaca dan limbah organik. Selain itu, penggunaan minyak nabati (seperti minyak sawit) juga berpotensi memicu deforestasi jika tidak dikelola secara berkelanjutan.


2. Proses Manufaktur

Tahap berikutnya adalah proses pembuatan wafer, karamel, dan pelapis cokelat. Proses ini dilakukan dalam fasilitas industri besar menggunakan mesin yang membutuhkan energi listrik dan gas dalam jumlah besar.

Setiap komponen — wafer, karamel, dan cokelat — memiliki proses tersendiri. Wafer dibuat dari tepung gandum dan air, dipanggang dengan mesin berenergi tinggi. Karamel dibuat melalui pemanasan gula, sementara lapisan cokelat dicairkan dan dicampur dengan emulsifier. Semua elemen ini kemudian digabungkan, didinginkan, dan dipotong sebelum masuk ke proses pengemasan.

Dalam tahap manufaktur ini, input utamanya meliputi energi listrik, air, bahan kimia food-grade, serta tenaga mesin. Output-nya berupa produk jadi, sisa bahan makanan (seperti remahan wafer atau karamel berlebih), dan limbah air pencucian.

Meski terlihat efisien, proses industri makanan skala besar tetap menyumbang emisi karbon dari energi dan menghasilkan limbah yang harus dikelola secara hati-hati agar tidak mencemari lingkungan.


3. Pengemasan

Tahap pengemasan merupakan bagian penting dari siklus hidup Beng-Beng. Produk ini dibungkus dengan plastik multilayer metalized — kombinasi aluminium foil dan polipropilena (PP). Jenis kemasan ini efektif untuk menjaga rasa, aroma, dan keawetan produk, tetapi sangat sulit untuk didaur ulang karena terdiri dari lapisan-lapisan yang tidak mudah dipisahkan.

Selain bahan plastik, proses pengemasan juga membutuhkan tinta cetak untuk desain merek serta energi untuk mengoperasikan mesin sealer otomatis.

Dari tahap ini, input utama adalah plastik, tinta, dan energi listrik, sedangkan output-nya berupa kemasan final siap jual dan sisa limbah plastik yang tidak terpakai.

Permasalahan terbesar pada fase ini adalah limbah plastik multilayer yang hampir mustahil untuk diolah kembali. Akibatnya, sebagian besar kemasan berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) atau mencemari lingkungan.


4. Distribusi dan Transportasi

Setelah dikemas, Beng-Beng didistribusikan ke berbagai wilayah di Indonesia menggunakan truk atau kendaraan logistik. Proses distribusi ini memerlukan bahan bakar fosil dan kemasan tambahan seperti kardus serta pallet plastik untuk menjaga kestabilan produk selama perjalanan.

Dampak lingkungan dari fase ini terutama berasal dari emisi CO₂, NOx, dan partikulat debu akibat pembakaran bahan bakar. Semakin luas jangkauan distribusi, semakin besar pula jejak karbon yang dihasilkan.

Di sisi lain, efisiensi logistik dan sistem transportasi hijau dapat mengurangi dampak dari tahap ini — misalnya dengan optimalisasi rute atau penggunaan kendaraan berbahan bakar rendah emisi.


5. Konsumsi dan Akhir Siklus

Fase terakhir terjadi saat produk dikonsumsi oleh konsumen. Dalam tahap ini tidak ada input energi besar, karena Beng-Beng merupakan produk siap saji yang langsung dimakan. Namun, setelah dikonsumsi, sampah kemasan plastik menjadi masalah utama.

Kebanyakan konsumen membuang bungkus Beng-Beng bersama sampah rumah tangga biasa. Karena bahan kemasannya terbuat dari plastik multilayer, proses daur ulang hampir tidak mungkin dilakukan. Akibatnya, limbah ini bertahan ratusan tahun di lingkungan.

Jika dibakar, kemasan menghasilkan emisi beracun seperti dioksin. Jika dibuang ke laut, dapat mengancam ekosistem laut dan hewan perairan.


Refleksi Pribadi

Melalui observasi terhadap Beng-Beng, saya mendapatkan pemahaman baru bahwa sebuah produk yang tampak kecil dan sederhana ternyata memiliki rantai kehidupan yang kompleks dan panjang. Dari perkebunan tebu, ladang gandum, hingga pabrik cokelat, setiap tahap membutuhkan sumber daya dan energi dalam jumlah besar.

Yang paling mengejutkan bagi saya adalah “jejak karbon tersembunyi” yang dimiliki oleh produk ini. Hanya dengan membayar seribuan rupiah, kita seolah membeli kenyamanan instan tanpa memikirkan energi, bahan bakar, dan limbah yang dihasilkan dari proses produksinya. Hal ini membuat saya lebih sadar bahwa setiap keputusan konsumsi memiliki konsekuensi terhadap lingkungan.

Masalah terbesar ada pada kemasan. Plastik multilayer memang efektif untuk menjaga kualitas makanan, tetapi hampir tidak bisa didaur ulang. Ini berarti setiap batang Beng-Beng yang pernah diproduksi kemungkinan besar masih ada di bumi hingga hari ini, entah di TPA, di sungai, atau di laut.

Sebagai konsumen, saya merasa perlu mengambil langkah kecil yang berarti. Saya bisa mulai dengan:

  • Membatasi konsumsi impulsif terhadap produk kemasan sekali pakai.

  • Mengelompokkan sampah dan memastikan limbah plastik tidak bercampur dengan organik.

  • Mendukung merek yang mulai menggunakan kemasan ramah lingkungan atau sistem isi ulang (refill system).

Selain itu, saya berharap produsen juga mengambil peran aktif. Misalnya dengan mendesain ulang kemasan agar lebih mudah didaur ulang, menggunakan bahan biodegradable, atau mengembangkan sistem pengumpulan kembali kemasan (take-back program).

Sebagai mahasiswa teknik industri, saya melihat ini sebagai tantangan sekaligus peluang besar untuk mengembangkan sistem produksi berkelanjutan. Inovasi teknologi dapat diarahkan untuk mengurangi konsumsi energi, meminimalkan limbah, serta menciptakan material baru yang aman bagi lingkungan.

Pada akhirnya, refleksi ini mengajarkan saya bahwa setiap produk memiliki cerita ekologisnya sendiri — dan sebagai konsumen, kita ikut menjadi bagian dari cerita itu. Meskipun saya hanyalah satu individu, setiap keputusan kecil dalam pola konsumsi saya dapat menjadi kontribusi nyata untuk mengurangi beban bumi.


Penutup

Melalui analisis input–output berdasarkan prinsip ISO 14040, saya belajar bahwa keberlanjutan bukan hanya isu besar di tingkat industri global, tetapi juga bisa dimulai dari hal sederhana: memahami siklus hidup produk yang kita konsumsi sehari-hari.

Beng-Beng mengajarkan saya bahwa di balik rasa manis dan kepraktisan, ada proses panjang yang penuh dampak lingkungan. Jika kesadaran ini tumbuh di antara produsen dan konsumen, saya yakin masa depan industri makanan bisa menjadi lebih hijau, adil, dan bertanggung jawab terhadap bumi.

Comments

Popular Posts